Permasalahan dan Penguatan Manajemen Sistem Agribisnis Peternakan Kambing (Hod Farm)



Oleh :  Imro Atus Solikhah

Magister Agribisnis Universitas Jenderal Soedirman

IDNEWSUPDATE.COM -  Peternakan kambing merupakan salah satu subsektor agribisnis yang memiliki daya tahan tinggi di tengah dinamika ekonomi pedesaan. Permintaan pasar yang relatif stabil, terutama untuk kebutuhan konsumsi harian, aqiqah, dan kurban, menjadikan usaha ini memiliki prospek jangka panjang. 

Di Desa Tambaksari, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, peternakan kambing dan domba telah lama berkembang sebagai usaha rakyat. Salah satu unit usaha yang menunjukkan perkembangan menuju skala UMKM menengah adalah Hod Farm. Namun demikian, besarnya potensi tersebut belum sepenuhnya diiringi oleh penerapan manajemen sistem agribisnis yang komprehensif dan terintegrasi. 

Dalam kerangka konseptual agribisnis, peternakan tidak dapat dipahami secara sempit sebagai aktivitas pemeliharaan ternak semata. Peternakan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu (input produksi), subsistem budidaya, subsistem hilir (pengolahan dan pemasaran), serta subsistem penunjang berupa kelembagaan, pembiayaan, dan kebijakan. 

Kelemahan pada salah satu subsistem akan berdampak langsung pada kinerja usaha secara keseluruhan. Realitas yang terjadi di Desa Tambaksari menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha, termasuk Hod Farm, masih menempatkan aspek produksi sebagai fokus utama, sementara aspek manajerial dan integrasi sistem belum menjadi prioritas.

Pada subsistem hulu, persoalan krusial yang dihadapi adalah manajemen pakan. Terkait persoalan pakan, pemilik Hod Farm menjelaskan bahwa ketersediaan hijauan sangat bergantung pada musim, sehingga berdampak langsung pada biaya dan produktivitas ternak.

“Kalau musim kemarau, pakan jadi masalah besar. Kadang harus beli tambahan dan itu menambah biaya. Kami tahu seharusnya ada pakan cadangan, tapi belum terbiasa mengelolanya secara terencana,” jelasnya.

Pakan masih didominasi hijauan segar dan limbah pertanian yang ketersediaannya sangat dipengaruhi musim. Pola ini menyebabkan biaya pakan sulit dikendalikan dan produktivitas ternak menjadi tidak konsisten. Dalam pandangan penulis, kondisi tersebut mencerminkan lemahnya perencanaan usaha jangka menengah dan panjang. Hod Farm seharusnya mulai mengadopsi pendekatan manajemen pakan berbasis efisiensi, seperti penyusunan ransum sederhana, pengawetan pakan melalui silase atau fermentasi, serta diversifikasi sumber pakan lokal. Tanpa pembenahan pada aspek ini, upaya peningkatan skala usaha hanya akan meningkatkan risiko kerugian.

Pada subsistem budidaya, tantangan berikutnya terletak pada manajemen kesehatan dan reproduksi ternak. Pemilik Hod Farm mengungkapkan bahwa kendala utama yang dihadapi bukan semata pada teknis pemeliharaan ternak, melainkan pada aspek manajemen usaha secara keseluruhan.

“Selama ini kami beternak sambil jalan. Fokusnya masih ke bagaimana ternak tetap hidup dan bisa dijual. Soal pencatatan biaya, perencanaan pakan, sampai pemasaran, jujur masih belum tertata dengan baik,” ujarnya.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa praktik peternakan rakyat masih didominasi oleh pendekatan produksi tradisional. Hal ini selaras dengan kondisi banyak UMKM peternakan di pedesaan yang belum menjadikan manajemen sebagai fondasi utama usaha.Praktik pemeliharaan masih cenderung reaktif, yakni penanganan kesehatan dilakukan setelah ternak menunjukkan gejala sakit. Pola ini berpotensi meningkatkan tingkat kematian ternak dan menurunkan performa produksi. 

Selain itu, pencatatan usaha, baik terkait bobot badan, siklus reproduksi, maupun biaya produksi, masih belum dilakukan secara sistematis. Padahal, pencatatan merupakan instrumen dasar dalam pengambilan keputusan usaha. Menurut saya, transformasi UMKM peternakan menuju usaha yang berdaya saing menuntut perubahan paradigma dari sekadar beternak menjadi mengelola usaha peternakan secara profesional.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah subsistem hilir, khususnya pemasaran. Dari sisi pemasaran, ketergantungan pada pedagang perantara masih menjadi pilihan utama karena dianggap paling praktis, meskipun berdampak pada lemahnya posisi tawar peternak.

“Menjual ke pengepul itu cepat, tapi harganya kadang tidak sesuai harapan. Kami sebenarnya ingin punya pasar sendiri, misalnya langsung ke konsumen aqiqah atau kurban, tapi belum punya jaringan dan sistemnya,” tambahnya.

Hingga saat ini, pemasaran kambing dan domba di Desa Tambaksari masih didominasi oleh pola individual dan ketergantungan pada pedagang perantara. Kondisi ini melemahkan posisi tawar peternak dan membuat harga jual cenderung tidak stabil. Hod Farm sebenarnya memiliki peluang untuk keluar dari pola tersebut dengan membangun strategi pemasaran berbasis jaringan, baik melalui kemitraan dengan pelaku usaha jasa aqiqah dan kurban, maupun melalui pemanfaatan media digital. Namun, upaya tersebut membutuhkan kapasitas manajerial dan dukungan kelembagaan yang belum sepenuhnya tersedia. Lebih jauh, pengembangan nilai tambah produk masih menjadi aspek yang relatif terabaikan. 

Kotoran ternak yang dihasilkan dalam jumlah besar belum dikelola secara optimal sebagai produk ekonomi. Padahal, pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dapat menciptakan sumber pendapatan tambahan sekaligus mendukung pertanian di sekitar wilayah peternakan. Integrasi peternakan kambing dan domba dengan sektor pertanian tanaman pangan merupakan bentuk konkret penerapan sistem agribisnis berkelanjutan yang masih jarang diterapkan di tingkat UMKM pedesaan.



Menurut saya, keterbatasan penerapan manajemen sistem agribisnis pada usaha seperti Hod Farm tidak sepenuhnya disebabkan oleh rendahnya kemampuan peternak, melainkan oleh minimnya pendampingan yang bersifat berkelanjutan. Program pemberdayaan yang ada sering kali bersifat parsial dan berorientasi pada bantuan fisik, bukan pada penguatan kapasitas manajerial. Akibatnya, peternak sulit melakukan transformasi usaha secara mandiri. Pemerintah desa dan pemerintah daerah seharusnya berperan lebih aktif dalam mendorong penguatan kelembagaan peternak, baik melalui pembentukan koperasi, kelompok usaha bersama, maupun fasilitasi akses pembiayaan produktif. 

Dalam konteks pembangunan pedesaan, Hod Farm dapat diposisikan sebagai UMKM peternakan menengah yang berpotensi direplikasi. Namun, tanpa perbaikan menyeluruh pada manajemen sistem agribisnis, potensi tersebut akan stagnan dan sulit berkembang. Transformasi peternakan rakyat menuntut perubahan cara pandang, dari usaha berbasis kebiasaan menuju usaha berbasis perencanaan, efisiensi, dan orientasi pasar.

Pada akhirnya, penguatan manajemen sistem agribisnis peternakan kambing dan domba di Desa Tambaksari bukan hanya persoalan teknis peternakan, melainkan persoalan strategi pembangunan ekonomi desa. Jika Hod Farm dan UMKM sejenis mampu mengintegrasikan seluruh subsistem agribisnis secara konsisten, maka peternakan tidak hanya menjadi sumber pendapatan, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi lokal, pencipta lapangan kerja, dan penopang ketahanan pangan berbasis sumber daya desa. Tantangan yang ada justru menjadi peluang untuk membangun peternakan rakyat yang lebih modern, mandiri, dan berkelanjutan. 

0/Post a Comment/Comments