
IDNEWSUPDATE.COM - Pada Hari Diabetes Sedunia, komunitas kesehatan kembali menyoroti bahaya Retinopati Diabetik (RD), sebuah komplikasi serius yang mengancam penglihatan penderita diabetes di Indonesia. Kondisi ini muncul akibat gula darah tinggi merusak pembuluh darah retina, padahal 95 persen kasus kebutaan yang ditimbulkannya sebenarnya dapat dicegah melalui deteksi dan penanganan dini.
Retinopati Diabetik adalah salah satu konsekuensi paling mengerikan dari diabetes yang seringkali tidak disadari hingga tahap lanjut. Kondisi ini muncul ketika gula darah yang terus-menerus tinggi mengikis integritas pembuluh darah halus di retina—lapisan peka cahaya di belakang mata yang krusial untuk mentransmisikan gambar ke otak. Kerusakan ini, jika tidak diidentifikasi dan ditangani secara dini, akan progresif menyebabkan penglihatan kabur hingga pada akhirnya kehilangan penglihatan yang tidak dapat dipulihkan.
Data di Indonesia menunjukkan skala masalah yang mengkhawatirkan. Beban retinopati diabetik meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah penderita diabetes di Tanah Air. Diperkirakan, sekitar dua dari lima atau sekitar 43,1 persen individu dengan diabetes tipe 2 telah mengembangkan kondisi ini. Lebih lanjut, satu dari setiap empat pasien tersebut telah berada pada tahap Vision-Threatening Diabetic Retinopathy (VTDR), yaitu fase kritis yang secara signifikan meningkatkan risiko kehilangan penglihatan. Selain itu, sekitar 29 persen pasien RD juga mengalami Diabetic Macular Edema (DME), suatu pembengkakan pada makula yang merupakan area paling tajam pada retina, memperparah ancaman kebutaan.
Ironisnya, meskipun mayoritas kasus kebutaan akibat RD dapat dicegah, cakupan skrining di Indonesia masih sangat rendah. Hanya sekitar lima persen pasien diabetes yang secara rutin menjalani pemeriksaan retina mereka. Kondisi ini menyebabkan banyak pasien baru mencari pertolongan medis ketika kerusakan sudah parah dan memerlukan intervensi yang jauh lebih kompleks dan berisiko.
Tingkatkan Deteksi Dini
Menyadari urgensi masalah ini, berbagai pihak bertepatan dengan Hari Diabetes Sedunia pada 14 November lalu menyerukan pentingnya skrining mata secara berkala bagi setiap individu penderita diabetes. Langkah ini diyakini sebagai benteng pertahanan paling efektif untuk mencegah komplikasi yang merusak penglihatan.
Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menggarisbawahi besarnya tantangan diabetes di Indonesia. Ia menyatakan, "Kami ingin skrining retinopati diabetik bisa dilakukan secara masif di layanan primer, tidak hanya bergantung pada dokter spesialis. Dengan dukungan teknologi dan alur rujukan yang jelas, kita bisa mempercepat deteksi dini." Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperluas jangkauan skrining dari fasilitas kesehatan tingkat lanjut hingga ke puskesmas dan klinik.
Ambisi nasional yang tertuang dalam Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan 2025-2030 menargetkan peningkatan signifikan dalam penanganan RD. Tujuannya adalah memastikan 80 persen pasien diabetes menjalani skrining retina dan 80 persen pasien yang terdiagnosis retinopati diabetik mendapatkan pengobatan yang tepat. Untuk mencapai target ambisius ini, pemanfaatan tele-oftalmologi—layanan mata jarak jauh—dan kecerdasan buatan (AI) menjadi strategi kunci. Inovasi ini diharapkan mampu mengatasi keterbatasan akses dan kekurangan tenaga ahli mata, khususnya di wilayah-wilayah terpencil.
Selain upaya pemerintah, kolaborasi strategis juga menjadi pilar penting dalam memperkuat sistem layanan kesehatan mata. Sebagai contoh, Roche Indonesia menjalin kerja sama dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM untuk mengembangkan pendekatan penanganan retinopati diabetik yang lebih komprehensif. Wakil Rektor UGM, Danang Sri Hadmoko, menyambut baik inisiatif ini sebagai "langkah strategis untuk menjawab tantangan retinopati diabetik melalui pendekatan berbasis bukti."
Senada dengan itu, Presiden Direktur Roche Indonesia, Sanaa Sayagh, menegaskan komitmen perusahaannya untuk mendukung transformasi kesehatan nasional dan melindungi kesehatan penglihatan masyarakat. "Melalui model ini, kami ingin meningkatkan cakupan skrining secara signifikan dan memastikan pasien mendapatkan tatalaksana sebelum terjadi kebutaan permanen," ujar Sanaa. Kolaborasi semacam ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem perawatan yang terintegrasi, mulai dari deteksi dini hingga intervensi medis, demi meminimalkan angka kebutaan akibat retinopati diabetik di Indonesia.