IDNEWSUPDATE.COM - Chief Economist Citibank N.A., Indonesia, Helmi Arman, memproyeksikan minat investasi pada emas akan mengalami pelemahan signifikan di tahun depan, sebagai respons terhadap perbaikan kondisi ekonomi dan geopolitik global yang berpotensi mengalihkan fokus investor ke instrumen finansial lain.
Dalam beberapa tahun terakhir, emas telah menjadi primadona investasi, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dan ketegangan geopolitik. Namun, menurut Helmi Arman, skenario ini berpotensi berubah drastis. Pemulihan ekonomi yang lebih cepat di Amerika Serikat dan kebangkitan kembali perekonomian Tiongkok dipercaya akan menciptakan lanskap investasi yang berbeda.
Helmi menjelaskan bahwa, jika dua kekuatan ekonomi global tersebut menunjukkan tanda-tanda vitalitas yang kuat, daya tarik emas sebagai aset lindung nilai akan berkurang. Investor, baik institusional maupun perorangan, kemungkinan besar akan mencari peluang imbal hasil yang lebih agresif di pasar lain.
"Kalau tahun depan ekonomi Amerika Serikat pulih lebih cepat dan Tiongkok bangkit, akan muncul banyak pesaing baru bagi emas dari sisi instrumen keuangan," ujar Helmi di Jakarta, Rabu.
Pesaing-pesaing ini meliputi saham, obligasi korporasi, hingga sektor properti yang kembali bergairah. Helmi menyoroti bahwa sekitar 80% permintaan emas dalam beberapa tahun terakhir berasal dari aktivitas investasi, sementara sisanya 20% dialokasikan untuk kebutuhan industri. Pembeli investasi terbesar tidak lain adalah bank sentral negara-negara berkembang, yang aktif menambah cadangan emas mereka di tengah ketegangan geopolitik global dan dinamika kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang tidak menentu. Apabila ketegangan mereda dan prospek ekonomi membaik, permintaan dari segmen ini diperkirakan akan melambat.
Selain institusi, konsumen rumah tangga di Asia, khususnya Tiongkok dan India, juga memegang peran krusial sebagai pendorong utama penjualan emas global. Helmi mengamati fenomena menarik di Tiongkok, di mana permintaan emas rumah tangga justru meningkat ketika sektor properti melemah. Hal ini mengindikasikan bahwa emas menjadi alternatif investasi saat aset tradisional seperti properti menghadapi tekanan.
“Di Tiongkok, sejak sektor propertinya melemah, permintaan rumah tangga untuk emas justru meningkat,” ujarnya.
Namun, jika pasar properti dan sektor keuangan di kedua negara raksasa Asia ini kembali stabil dan menawarkan peluang yang menjanjikan, minat masyarakat terhadap emas sebagai instrumen investasi diperkirakan akan menurun.
Berbeda dengan proyeksi emas, Helmi Arman melihat potensi kenaikan harga yang signifikan untuk logam dasar seperti tembaga, nikel, dan aluminium di tahun depan. Pemulihan ekonomi global yang berkelanjutan diperkirakan akan memicu peningkatan aktivitas industri dan pembangunan infrastruktur secara masif di berbagai belahan dunia.
Logam-logam ini adalah tulang punggung bagi sektor manufaktur, konstruksi, dan energi terbarukan. Oleh karena itu, lonjakan permintaan dari sektor-sektor tersebut dipastikan akan mendorong harga mereka ke level yang lebih tinggi. Saat ini, prospek logam dasar memang cenderung kurang menarik akibat perlambatan ekonomi global, namun Helmi optimistis bahwa kondisi ini akan segera berbalik.
Kondisi ekonomi Amerika Serikat yang pulih akan menjadi katalis utama bagi penguatan permintaan logam dasar di pasar global. Proyeksi ini menawarkan alternatif investasi menarik bagi investor yang mencari pertumbuhan di tengah potensi meredupnya daya tarik emas.
“Citi memperkirakan harga emas dunia secara rata-rata tahun depan mungkin tidak sebaik tahun ini, sementara logam dasar berpeluang naik ke panggung,” kata Helmi.
Data terkini menunjukkan bahwa harga jual emas Galeri24 tercatat stabil di Rp2.374.000 per gram, sedangkan emas UBS tetap di Rp2.376.000 per gram. Namun, angka-angka ini mungkin tidak mencerminkan arah pergerakan pasar di tahun mendatang jika proyeksi Citibank terwujud. Investor disarankan untuk mempertimbangkan diversifikasi portofolio dan mengikuti perkembangan ekonomi makro global dengan cermat.