Ekonom Tegaskan Redenominasi Rupiah Butuh Fondasi Strategis Kuat






IDNEWSUPDATE.COM -  Analis Ekonomi Politik FINE Institute, Kusfiardi, mengingatkan bahwa rencana redenominasi rupiah berpotensi gagal jika tidak didasari oleh kerangka strategis yang matang. Peringatan ini disampaikan di Jakarta, menekankan pentingnya menempatkan perdebatan publik dalam konteks makroekonomi, institusional, dan perilaku, alih-alih hanya berfokus pada penghapusan angka nol semata.

Kusfiardi menegaskan bahwa diskursus publik mengenai redenominasi seringkali hanya berkutat pada aspek teknis "menghapus tiga nol", tanpa memahami prasyarat makro, institusional, dan perilaku yang esensial. "Debat publik soal redenominasi sering berhenti pada tataran kosmetik, yaitu ‘menghapus tiga nol’, tanpa memahami kerangka strategis yang justru menentukan keberhasilannya," ujar Kusfiardi.

Ia menyoroti pengalaman global yang secara konsisten menunjukkan bahwa redenominasi sukses apabila menjadi bagian dari paket reformasi komprehensif. Paket ini harus menyasar kredibilitas negara, stabilitas harga, serta efisiensi sistem transaksi. "Di banyak negara, redenominasi berhasil ketika ia menjadi bagian dari reform package yang menyasar kredibilitas negara, stabilitas harga, serta efisiensi sistem transaksi," katanya, menambahkan.

Lebih lanjut, Kusfiardi merujuk pada studi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang menggarisbawahi efektivitas redenominasi di tengah stabilitas harga yang kuat dan kedisiplinan fiskal yang kredibel. Ia menyebut Turki (2005) dan Polandia sebagai contoh negara yang berhasil setelah membenahi disiplin makro, reformasi lembaga, dan memperkuat kapasitas bank sentral.

Faktor Penentu Kesuksesan Redenominasi

Kusfiardi menambahkan bahwa literatur mengenai kredibilitas bank sentral, seperti yang dibahas oleh Cukierman dalam Federal Reserve Bank of St Louis Review, menekankan kepercayaan publik sebagai prasyarat krusial. Ini penting agar perubahan angka nominal tidak disalahartikan sebagai tanda ketidakstabilan atau krisis.

Studi kasus dari Ghana dan Meksiko, serta laporan sistem pembayaran dari Bank for International Settlements-Committee on Payment and Market Infrastructures (BIS-CPMI), menyoroti bahwa kapasitas transisi adalah pembeda. Kesiapan infrastruktur teknologi informasi, integrasi digital, dan koordinasi pelaku ritel menjadi sangat vital. "Kami melihat bahwa kesiapan transisi digital dan sistem pembayaran adalah faktor penentu yang tidak boleh diabaikan," kata Kusfiardi, menjelaskan.

Selain itu, aspek risiko perilaku (behavioral risks) sering terabaikan. Mengacu pada studi European Central Bank (ECB) tentang transisi euro, risiko seperti rounding effect, persepsi inflasi, dan bias psikologis masyarakat dapat memperparah kegagalan. Ini terutama terjadi jika komunikasi publik tidak konsisten dan tidak didukung data. "Kajian ECB tentang euro mengingatkan bahwa risiko perilaku, seperti rounding effect, persepsi inflasi, dan bias psikologis, dapat memperburuk kegagalan bila komunikasi publik tidak konsisten," katanya, menegaskan.

Seluruh rujukan ini, menurut Kusfiardi, membentuk pola yang jelas: redenominasi hanya akan memberikan nilai ekonomi apabila dijalankan di atas fondasi strategis yang kokoh. Ini bukan semata-mata karena motif administratif atau simbolik. "Seluruh rujukan ini membentuk satu pola bahwa redenominasi hanya menghasilkan nilai ekonomi ketika fondasi strategisnya kuat," pungkas Kusfiardi.