
IDNEWSUPDATE- Sebuah kisah kuliner yang menghangatkan hati dan menyebar viral di media sosial baru-baru ini memperlihatkan seorang pria Korea Selatan dengan penuh semangat menjajakan cilok keliling menggunakan sepeda di kota Ansan, Korea Selatan, berhasil membawa cita rasa khas jajanan Indonesia ke tengah masyarakat Negeri Ginseng. Fenomena unik ini sontak menarik perhatian luas karena tidak hanya memperkenalkan makanan, tetapi juga berhasil menciptakan kembali suasana "kampung halaman" bagi para perantau Indonesia.
Nama "Cilok Hengnim" kini tak asing lagi di telinga para pengguna TikTok dan media sosial lainnya. Hengnim, yang dalam bahasa Korea berarti "kakak" atau panggilan hormat untuk pria lebih tua, adalah sosok di balik inovasi kuliner ini. Ia mendadak menjadi perbincangan hangat setelah video aksinya berjualan cilok layaknya pedagang kaki lima di Indonesia tersebar luas. Mulai dari gerobak sepeda yang sederhana hingga cara penyajian cilok lengkap dengan bumbu kacang dan saus, semuanya direplikasi dengan cermat untuk memberikan pengalaman otentik.
Inspirasi untuk menjual cilok ini, menurut Hengnim, datang dari pemandangan yang sering ia saksikan di Indonesia. "Saya terinspirasi dari abang-abang keliling di Indonesia. Rasanya senang bikin mereka merasa seperti di kampung halaman," ujarnya, mengungkapkan motivasi utamanya. Di balik setiap butir cilok yang ia jual, ada sentuhan cinta dan kerinduan dari sang istri yang merupakan seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Istrinyalah yang bertanggung jawab meracik adonan dan bumbu, memastikan keaslian rasa cilok Bandung yang legendaris.
Lebih dari sekadar berbisnis, Hengnim memiliki misi mulia: menghadirkan kembali kenangan dan rasa rindu akan jajanan Indonesia di Ansan, tempat banyak WNI bermukim. "Jajanan seperti cilok jarang ada. Saya ingin bantu teman-teman Indonesia di sini yang rindu jajanan itu," imbuhnya. Usahanya ini bukan hanya mengisi ceruk pasar, tetapi juga menjadi jembatan budaya yang menghubungkan dua negara melalui lidah.
Setiap porsi cilok dibanderol seharga 10.000 won, atau sekitar Rp115.000. Harga ini mungkin terdengar fantastis bagi telinga masyarakat Indonesia, namun banyak komentar yang menyatakan bahwa nominal tersebut cukup wajar untuk jajanan di Korea Selatan, mengingat biaya hidup dan produksi yang lebih tinggi. Pembeli dapat menyaksikan langsung Hengnim dengan sigap mengambil butiran cilok menggunakan tusukan, lalu melengkapinya dengan siraman saus dan bumbu kacang, persis seperti yang biasa ditemukan di sudut-sudut kota di Indonesia.
Tantangan dan Dedikasi di Balik Rasa Otentik
Menciptakan cilok dengan rasa yang otentik di negeri orang bukanlah perkara mudah. Hengnim mengaku bahwa ia dan istrinya terus menerus menyempurnakan resep agar cita rasa cilok yang mereka jual semakin mirip dengan aslinya di Indonesia. Proses ini memerlukan dedikasi dan percobaan berulang. Untungnya, bahan-bahan dasar untuk membuat cilok masih relatif mudah ditemukan di Korea Selatan.
Untuk urusan bumbu rempah-rempah yang menjadi kunci kelezatan, Hengnim berbagi tips bahwa semuanya dapat diperoleh di Asia Mart, supermarket khusus yang menyediakan produk-produk dari negara Asia. Kehadiran toko semacam ini sangat membantu para pelaku kuliner diaspora dalam menjaga keaslian rasa masakan mereka.
Meskipun Cilok Hengnim baru beberapa hari dijajakan, popularitasnya langsung meroket berkat unggahan viral seorang netizen. Pada awalnya, penjualan cilok ini sebagian besar menyasar komunitas Indonesia di Korea Selatan yang memang sangat merindukan jajanan kampung halaman. Hengnim mengakui bahwa masyarakat Korea sendiri belum banyak yang mengenal cilok.
Namun, angin segar mulai berhembus. "Tapi teman-teman Korea yang pernah tinggal di Indonesia ada beberapa yang menghubungi kita mau beli," ungkapnya dengan antusias. Ini menunjukkan bahwa meskipun masih dalam tahap awal, ada potensi besar bagi cilok untuk menembus pasar lokal Korea, terutama di kalangan mereka yang memiliki pengalaman atau ketertarikan terhadap budaya Indonesia.
Simbol Kerinduan dan Pertukaran Budaya
Fenomena Cilok Hengnim bukan hanya tentang sebuah bisnis kuliner, melainkan juga sebuah narasi tentang kerinduan, adaptasi, dan pertukaran budaya. Kisah ini mengajarkan bahwa makanan dapat menjadi jembatan yang kuat untuk menghubungkan orang-orang dari latar belakang berbeda, serta obat mujarab untuk mengobati rasa kangen akan tanah air.
Kehadiran cilok yang dijual dengan cara tradisional di tengah modernitas Korea Selatan juga menjadi daya tarik tersendiri. Ini membuktikan bahwa keunikan dan otentisitas dari sebuah produk, sekalipun sederhana, mampu mencuri perhatian dan menciptakan jejak yang tak terlupakan. Cilok Hengnim telah membuka mata banyak orang tentang bagaimana jajanan lokal Indonesia memiliki potensi besar untuk "go international" dan dicintai oleh berbagai kalangan, di mana pun mereka berada. Semoga kisah inspiratif ini dapat memotivasi lebih banyak lagi pelaku UMKM Indonesia untuk berani membawa kekayaan kuliner Nusantara ke panggung dunia.